Akhirnya Konten-konten Berabau Pornografi Penyebaran Resmi Di Setop
Pojok Nasional. Orang lain berbuat, bisa-bisa malah Anda yang kena batunya. Ini mengapa sebaiknya orang setop menyebarkan konten pornografi untuk alasan apapun.
Baik itu meneruskannya dari aplikasi percakapan seperti whatsapp, pun dengan sengaja mengunggahnya ke media sosial, akan lebih baik jika konten pornografi itu berhenti pada Anda.
Pasalnya, selain berdampak terhadap pihak-pihak yang bersangkutan, menyebar konten pornografi dapat membuat Anda tererat hukum pidana.
"KPAI mengimbau jangan menyebarkan video yang mengandung unsur pornografi dan kekerasan. Kalau kita menerima share, cukup berhenti di kita, jangan disebarkan lagi," ujar Retno Listyarti, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia bidang pendidikan dinukil.
Bukan hanya itu, menyimpan konten pornografi juga bisa berbahaya bagi anak di bawah umur. Pun jika mereka tak sengaja melihatnya, misal di ponsel orang tua.
Menurut psikolog anak Ratih Zulhaqqi, konsumsi konten pornografi sama sekali tidak baik bagi psikologis anak dan remaja karena bisa menimbulkan kecanduan.
Ia menjelaskan, suatu adegan atau gambar porno yang menempel di ingatan bisa membuat pikiran orang terbayang-bayang dan mengulangi menonton lagi. Berikutnya, ini bisa memunculkan keinginan memenuhi hasrat seksual.
Lanjut Ratih, keadaan bertambah parah ketika orang tua yang terkendala melakukan pengawasan sejak awal, ternyata juga tidak mampu mengomunikasikan pendidikan seksual dengan tepat.
Akibatnya, bukan tak mungkin anak-anak di bawah umur itu terdorong melakukan tindakan tak bertanggung jawab dan tidak sesuai norma.
Selain itu, penyebar konten pornografi juga bisa terjerat sejumlah pasal.
Contohnya petaka yang menimpa Ibnu Arif, pedagang buah asal Malang. Ibnu ditahan polisi dengan tuduhan melanggar hukum dan dikenai pasal berlapis karena menyebar video asusila ke dalam grup facebook berjumlah ribuan anggota, yang kemudian viral.
Ibnu mengaku motifnya menyebar konten lantaran iseng ingin memberi efek jera pada pelaku asusila yang ia duga sebagai warga di sekitar tempat tinggalnya. Padahal, pelaku dalam video yang ia dapat dari temannya lewat Whatsapp itu sama sekali tidak dia kenal.
Secara hukum, konten pornografi di Indonesia diatur dalam tiga ketentuan yang tertera dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP); Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (UU Pornografi); dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan UU ITE (UU 19/2016).
Perubahan UU ITE hanya terletak pada delik umum yang berubah menjadi delik aduan, selebihnya tetap sama.
Lebih lanjut, Pasal 6 UU Pornografi secara tegas mengatur tentang penyimpanan produk pornografi, bahwa setiap orang dilarang memiliki atau menyimpan, termasuk mempertontonkan dan sebagainya.
Cakupan Pasal 4 UU Pornografi bahkan lebih luas. Pada ayat (2) tertulis, konten pornografi yang dimaksud antara lain memuat persenggamaan—termasuk yang menyimpang; kekerasan seksual; masturbasi atau onani; ketelanjangan atau mengesankan ketelanjangan; alat kelamin; dan pornografi anak.
Sementara ayat (1) menunjukkan larangan memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, hingga memperjualbelikan.
Menurut Pakar Teknologi Informasi, Ruby Alamsyah, kategori “membuat” sebetulnya tidak berlaku bila laki-laki dan perempuan yang merekam aktivitas seksual sepakat, foto atau video itu hanya untuk konsumsi pribadi.
Sebab, sebagaimana tercantum dalam pasal 1 butir satu UU Pornografi terkait definisi pornografi, suatu konten dalam bentuk apapun bisa dianggap pornografi dan ditindak pidana bila berisi pesan yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.
Tepatnya, jika secara sadar dipublikasikan dan diinformasikan kepada individu maupun khalayak luas.
Contoh individu, bisa terlihat dalam kasus Saiful yang dipenjara lima bulan pada tahun 2012 karena mengirimkan SMS berisi perkataan cabul kepada Adelian Ayu Septiana. Adel yang merasa risih melaporkan hal tersebut ke polisi dan kasus bergulir hingga ke Mahkamah Agung.
Adapun contoh khalayak, paling sering terjadi ketika konten pribadi dengan sengaja diperlihatkan kepada orang dekat, lalu menyebar luas.
“Pihak-pihak ketiga dan seterusnya yang sudah memiliki informasi tersebut bisa saja menyebarkan secara sengaja maupun tidak sengaja akibat gadgetnya tercuri,” ujar Ruby.
Sanksi bagi pembuat dan penyebar konten pornografi diatur dalam dalam Pasal 29 UU Pornografi, dengan pidana penjara paling singkat enam bulan dan paling lama dua belas tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250 juta dan paling banyak Rp6 miliar.
Pasal 27 ayat (1) UU ITE pun mengatur bahwa “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.”
Pelanggaran terhadap pasal ini diatur dalam Pasal 45 ayat (1) UU ITE, yaitu pidana penjara paling lama enam tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 milliar.
Kendati demikian, merujuk Hukum Online, ada pengecualian bagi pihak bersangkutan yang membuat konten seksual untuk privasi. Mereka bisa terbebas dari sanksi jika konten porno tersebar tanpa sepengetahuan, atau jika sebelumnya salah satu pihak telah mewanti-wanti agar konten tidak disebar.
Baik itu meneruskannya dari aplikasi percakapan seperti whatsapp, pun dengan sengaja mengunggahnya ke media sosial, akan lebih baik jika konten pornografi itu berhenti pada Anda.
Pasalnya, selain berdampak terhadap pihak-pihak yang bersangkutan, menyebar konten pornografi dapat membuat Anda tererat hukum pidana.
"KPAI mengimbau jangan menyebarkan video yang mengandung unsur pornografi dan kekerasan. Kalau kita menerima share, cukup berhenti di kita, jangan disebarkan lagi," ujar Retno Listyarti, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia bidang pendidikan dinukil.
Bukan hanya itu, menyimpan konten pornografi juga bisa berbahaya bagi anak di bawah umur. Pun jika mereka tak sengaja melihatnya, misal di ponsel orang tua.
Menurut psikolog anak Ratih Zulhaqqi, konsumsi konten pornografi sama sekali tidak baik bagi psikologis anak dan remaja karena bisa menimbulkan kecanduan.
Ia menjelaskan, suatu adegan atau gambar porno yang menempel di ingatan bisa membuat pikiran orang terbayang-bayang dan mengulangi menonton lagi. Berikutnya, ini bisa memunculkan keinginan memenuhi hasrat seksual.
Lanjut Ratih, keadaan bertambah parah ketika orang tua yang terkendala melakukan pengawasan sejak awal, ternyata juga tidak mampu mengomunikasikan pendidikan seksual dengan tepat.
Akibatnya, bukan tak mungkin anak-anak di bawah umur itu terdorong melakukan tindakan tak bertanggung jawab dan tidak sesuai norma.
Selain itu, penyebar konten pornografi juga bisa terjerat sejumlah pasal.
Contohnya petaka yang menimpa Ibnu Arif, pedagang buah asal Malang. Ibnu ditahan polisi dengan tuduhan melanggar hukum dan dikenai pasal berlapis karena menyebar video asusila ke dalam grup facebook berjumlah ribuan anggota, yang kemudian viral.
Ibnu mengaku motifnya menyebar konten lantaran iseng ingin memberi efek jera pada pelaku asusila yang ia duga sebagai warga di sekitar tempat tinggalnya. Padahal, pelaku dalam video yang ia dapat dari temannya lewat Whatsapp itu sama sekali tidak dia kenal.
Secara hukum, konten pornografi di Indonesia diatur dalam tiga ketentuan yang tertera dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP); Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (UU Pornografi); dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan UU ITE (UU 19/2016).
Perubahan UU ITE hanya terletak pada delik umum yang berubah menjadi delik aduan, selebihnya tetap sama.
Lebih lanjut, Pasal 6 UU Pornografi secara tegas mengatur tentang penyimpanan produk pornografi, bahwa setiap orang dilarang memiliki atau menyimpan, termasuk mempertontonkan dan sebagainya.
Cakupan Pasal 4 UU Pornografi bahkan lebih luas. Pada ayat (2) tertulis, konten pornografi yang dimaksud antara lain memuat persenggamaan—termasuk yang menyimpang; kekerasan seksual; masturbasi atau onani; ketelanjangan atau mengesankan ketelanjangan; alat kelamin; dan pornografi anak.
Sementara ayat (1) menunjukkan larangan memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, hingga memperjualbelikan.
Menurut Pakar Teknologi Informasi, Ruby Alamsyah, kategori “membuat” sebetulnya tidak berlaku bila laki-laki dan perempuan yang merekam aktivitas seksual sepakat, foto atau video itu hanya untuk konsumsi pribadi.
Sebab, sebagaimana tercantum dalam pasal 1 butir satu UU Pornografi terkait definisi pornografi, suatu konten dalam bentuk apapun bisa dianggap pornografi dan ditindak pidana bila berisi pesan yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.
Tepatnya, jika secara sadar dipublikasikan dan diinformasikan kepada individu maupun khalayak luas.
Contoh individu, bisa terlihat dalam kasus Saiful yang dipenjara lima bulan pada tahun 2012 karena mengirimkan SMS berisi perkataan cabul kepada Adelian Ayu Septiana. Adel yang merasa risih melaporkan hal tersebut ke polisi dan kasus bergulir hingga ke Mahkamah Agung.
Adapun contoh khalayak, paling sering terjadi ketika konten pribadi dengan sengaja diperlihatkan kepada orang dekat, lalu menyebar luas.
“Pihak-pihak ketiga dan seterusnya yang sudah memiliki informasi tersebut bisa saja menyebarkan secara sengaja maupun tidak sengaja akibat gadgetnya tercuri,” ujar Ruby.
Sanksi bagi pembuat dan penyebar konten pornografi diatur dalam dalam Pasal 29 UU Pornografi, dengan pidana penjara paling singkat enam bulan dan paling lama dua belas tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250 juta dan paling banyak Rp6 miliar.
Pasal 27 ayat (1) UU ITE pun mengatur bahwa “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.”
Pelanggaran terhadap pasal ini diatur dalam Pasal 45 ayat (1) UU ITE, yaitu pidana penjara paling lama enam tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 milliar.
Kendati demikian, merujuk Hukum Online, ada pengecualian bagi pihak bersangkutan yang membuat konten seksual untuk privasi. Mereka bisa terbebas dari sanksi jika konten porno tersebar tanpa sepengetahuan, atau jika sebelumnya salah satu pihak telah mewanti-wanti agar konten tidak disebar.
Komentar
Posting Komentar